Mengenal Teori Representasi
Representasi dapat dipahami berupa hasil dari sebuah proses
bagaimana masyarakat memandang teks yang sama namun dengan cara yang
berbeda-beda. Budaya sebagai tempat tinggal manusia merupakan sebuah konvensi
atas pertukaran-pertukaran gagasan tentang cara pandang terhadap teks.
Representasi merupakan sebuah cara yang mampu menghubungkan makna dan bahasa
terhadap budaya. Teori mengenai representasi merupakan kajian linguistik,
komunikasi dan budaya yang dipopulerkan oleh Stuart Hall. Menurut Hall,
terdapat dua sistem representasi yang menjadi dasar dalam proses produksi
makna. Sistem pertama, representasi dihasilkan dari konsep atau mental yang
tersimpan dalam kepala kita. Makna bergantung pada konsep dan images yang
terbentuk dalam pikiran kita dalam rangka memandang dunia. Cara pandang pada
sistem pertama ini tentu berdasarkan pada kemiripan atau perbedaan yang
membedakan satu objek dengan objek-objek lainnya. Dari proses ini akan
dihasilkan gambaran yang berbeda pada setiap orang yang melihatnya hingga didapatkan
peta konsep yang berbeda. Pada sistem representasi kedua, makna dikonstruksikan
melalui bahasa. Konsep yang dihasilkan pada sistem pertama tentu belum layak
disebut representasi sebelum melalui proses bahasa di sistem kedua. Makna
dikomunikasikan melalui bahasa berupa kata, gambar, atau tulisan sehingga makna
tersebut dapat dipertukarkan (Hall, 1997: 17 – 19).
Suatu imaji terbentuk melalui proses berfikir
kreatif seseorang dalam memaknai dunianya, bukan berdasarkan pada ide atau
gagasan apa yang telah menyertai suatu gambaran objek tersebut. Artinya, proses
interpretasi atau hermeneutik muncul sebelum ada representasi. Budaya lahir
melalui sistem representasi, seseorang dianggap berasal dari kebudayaan yang
sama jika memiliki pengalaman yang sama dengan orang lain. Dengan kata lain,
representasi merupakan sebuah proses persepsi baik secara individual maupun
kelompok budayanya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
representasi merupakan sebuah konsep yang mampu mengklasifikasi dunia
berdasarkan budayanya. Dalam representasi, menurut Hall setidaknya ada tiga
pendekatan yang digunakan yaitu:
1.
Pendekatan Reflektif,
bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan
pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.
2.
Pendekatan Intensional,
bahwa penutur bahasa baik lisan maupun tulisan yang memberikan makna unik pada
setiap hasil karyanya. Bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur dalam
mengkomunikasikan makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut
unik.
3.
Pendekatan
Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan menetapkan makna dalam
pesan atau karya (benda-benda) yang dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material
(benda-benda) hasil karya seni dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi
manusialah yang meletakkan makna (https://ahlikomunikasi.wordpress.com,
2015).
Makna awal yang akan dipertuarkan disebut juga
sebagai wacana. Dalam proses ini, makna harus melewati sebuah sistem atau
proses encoding dan decoding. Proses ini menurut
Hall disebut sebagai sirkuasi makna. Proses pemaknaan dalam komunikasi massa
menyerupai sebuah sirkulasi atau perputaran makna. Proses tersebut mengkritisi
sistem komunikasi linier antara sender, pesan, dan receiver yang
hanya berkutat pada pertukaran makna tanpa menyadari adanya kemungkinan makna
tersebut diteruskan ke dalam sistem struktur yang lebih kompleks dan
menghasilkan makna yang beragam (Hall dkk, 2005: 117). Representasi merupakan
titik tolak bagi encoder maupun decoder dalam
memaknai kode.
Dalam proses encoding/ decoding,
sebuah makna yang direpresentasikan struktur pertama merupakan sebuah wacana
yang masih asli dan bermuatan ideologi si pembuat makna. Berdasarkan berbagai
peristiwa sosial yang masih mentah di-encoding atau diangkat dalam
sebuah wacana. Wacana ini kemudian dikomunikasikan kepada khalayak dan
mengalami proses decoding. Proses decoding dilakukan
melalui peran aktif khalayak sebagai pembaca wacana. Hingga tahap ini, wacana
dipandang dalam bingkai ideologi yang berbeda-beda dan bebas oleh khalayak
sehingga mungkin saja menghasilkan penafsiran yang berbeda dari apa yang
diungkapkan encoder atau pembuat wacana (Storey, 2010:
13). Decoder bisa menafsirkan sama dengan yang disandikan
oleh encoder, atau menegosiasi wacana tersebut, bahkan kontradiktif
dengan apa yang disampaikan.
Komentar
Posting Komentar