Kebudayaan Populer, Selera, Industri Seni Massa
Budaya adalah ruang tempat tumbuh kembang peradaban umat manusia.
Dinamika kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari berbagai peristiwa yang
menyertai sebagai kondisi suatu kelompok masyarakat tertentu. Kondisi-kondisi
tersebut sangat terkait pada bagaimana keadaan sosial, geografis, demografis,
politik, sejarah, pengetahuan, teknologi, dan ekonomi masyarakatnya. Dinamika
budaya selalu dinamis, kondisi tersebut tentu saja memiliki dampak yang
sangat massive bagi segala organisme atau masyarakat di
dalamnya. Budaya secara pragmatis dimaknai sebagai sebuah kebiasaan yang
mempengaruhi pola perilaku bagi individu maupun kelompok masyarakat yang lebih
luas. Seni, sebagai salah satu produk budaya memegang peran penting dalam
memaparkan dan merepresentasikan perubahan-perubahan kultural atau budaya
tersebut. Sifatnya yang lentur, fleksibel, dan mampu menyesuaikan dengan
berbagai wahana menjadikanya sangat menarik untuk dikaji.
Dalam seni, terdapat beberapa cara yang
digunakan oleh penciptanya dalam mengungkapkan ideologi kepada kelompok
khalayak tertentu, seperti kaum borjuis maupun rakyat jelata sehingga, membuat
seni begitu beragam menurut bentuknya. Seni erat hubungannya dengan kebudayaan,
sejak dahulu kala masyarakat dan kelompok kerajaan khususnya mengenal seni dan
kebudayaan high culture atau adiluhung. Namun
ternyata keberadaan budaya adiluhung diiringi oleh
perkembangan kebudayaan yang populer atau sangat terkenal di masyarakat
sebagai popular culture. Bahkan dalam upacara-upacara adat di
Jawa yang merupakan kebudayaan high culture kerap didampingi
oleh dangdut dan sulapan di alun-alun (Damono, 2013: 13). Hal ini menunjukkan
bahwa budaya populer bukanlah merupakan kebudayaan modern bahkan telah ada
sejak dahulu kala.
Kebudayaan populer kerap diidentikkan dengan
sesuatu yang rendah dan kurang bernilai. Greenberg menjelaskan dalam Damono
(2013: 18) bahwa di Eropa sekitar akhir abad ke-18 seniman bukan lagi pengayom
perseorangan, tetapi juga harus siap melayani khalayak banyak. Dalam situasi
perubahan tersebut muncul seni avant-garde dan kitsch.
Avant-garde merupakan seni yang murni dan elit, sedangkan kitsch merupakan
seni populer. Seni avant-garde kerap kali dikait-kaitkan
dengan hegemoni kaum elit dan identik dengan cita rasa elit yang klasik. Hal
tersebut membuat seni avant-garde hanya sebagai media dalam
eksistensi penguasa dan kaum-kaum borjuis. Avant-garde berusaha
lepas dari fungsi tersebut dan mencari jalan untuk mencapai taraf seni yang
tinggi. Hal ini membuat avant-garde sebagai sebuah seni murni
yang abstrak, non objektif, dan bebas makna (Damono, 2013:
15). Kitsch merupakan satu bentuk kesenian yang diciptakan
sebagai seni populer oleh kelompok-kelompok kapitalis guna mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dari penikmatnya. Seni kitsch mengambil
bahkan mencaplok kebudayaan-kebudayaan adiluhung dan kemudian
direkayasa sedemikian rupa hingga dapat menarik minat masyarakat banyak
(Damono, 2013: 17). Nilai-nilai estetis yang dimunculkan dalam kitsch adalah
berupa kedinamisan estetis dari kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kitsch menaklukkan
selera dan cita rasa masyarakat, dimana masyarakat lebih suka mengeluarkan uang
untuk produk-produk yang instan dan populer. Dwight Mcdonald (1962) dalam
Damono (2013: 19) menyatakan bahwa cita rasa masyarakat hanya diukur berdasarkan
metodologi kuantitatif yang menempatkan responden terbanyak sebagai tolak
ukurnya. Nilai-nilai dan kualitas perseorangan hanya disepelekan dan diabaikan
begitu saja. Jika mengukur seni mana yang terbaik dan laku, adalah yang paling
banyak dicari khalayak ramai. Maka tidak mengherankan bila jenis seni kerap
menjadi selera kelas sosial (taste of social class). Dalam kehidupan
sehari-hari, dapat kita lihat bagaimana musik dangdut lebih banyak ditampilkan
pada acara-acara hajatan di kampung-kampung daripada musik jazz atau blues, kemudian
bagaimana perlakuan media dalam mengiklankan produk mobil sedan mewah dengan
mobil minibus.
Komentar
Posting Komentar