Mitos Di Balik Kemegahan Kota Tua
Kota
Tua merupakan salah satu tempat wisata sejarah yang terletak di Provinsi DKI
Jakarta. Sepanjang mata memandang, lokasi banyak dipenuhi oleh gedung-gedung
atau bangunan tua peninggalan belanda bergaya arsitektur neoklasik. Menurut sejarah, Jakarta kala itu
masih dikuasai oleh kerajaan Hindu Pajajaran bernama Sunda Kelapa. Pada tahun 1526, pasukan Fatahillah yang dikirim oleh Kesultanan
Demak menyerang
pelabuhan Sunda Kelapa dan kerajaan Hindu Pajajaran. Setelah berhasil dikuasai, Sunda
Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Kota ini memiliki luas 15 hektar dan
memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC berhasil menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu
tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren,
leluhur bangsa Belanda (Kota Tua Jakarta booklet, 2016). Hal tersebut konon menjadi cikal bakal penyebutan
nama “betawi” pada masyarakat asli
Jakarta.
Sebagai kantor pusat VOC di Hindia Timur, Batavia
pada masa itu dikenal dengan julukan “Ratu dari Timur” karena memiliki lokasi
yang strategis dan dekat dengan sumber daya alam yang sangat melimpah. Akan
tetapi, wabah penyakit tropis (malaria)
sempat menyerang di tahun 1800-an hingga memaksa pusat pemerintahan dipindah ke
arah Selatan Batavia. Seperti yang diungkapkan oleh Shahab, beberapa gedung di
Kota Tua dihancurkan termasuk Istana Gubernur Jendral oleh gubernur jendral
Willem Herman Daendels pada tahun 1808. Pemindahan akhirnya dilakukan ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan
Banteng) sekitar 15 km dari Kota Tua (Shahab, 2010: 1).
Kemegahan bangunan-bangunan bergaya
arsitektur eropa tersebut masih terus dipertahankan keaslian dan kemegahannya
hingga sekarang. Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali
Sadikin, mengeluarkan dekrit resmi yang menjadikan
Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk
melindungi sejarah arsitektur kota, atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tua_Jakarta). Berada di area Kota Tua, membuat setiap pengunjung
merasakan atmosfir suasana Batavia tempo dulu, selain nuansa negara-negara eropa.
Gedung museum Fatahilah tampak kokoh berdiri walaupun usianya
sudah cukup tua. Gedung museum Fatahilah memiliki gaya arsitektur eropa klasik
khususnya negeri Belanda pada abad 18 – 19 ketika negara tersebut datang ke
Sunda Kelapa. Pada abad tersebut, gaya arsitektur yang banyak berkembang di
eropa adalah gaya rokoko, barok dan neoklasik (http://id.wikipedia.org/wiki/Rokoko). Gaya rokoko banyak dipengeruhi oleh cita rasa
Perancis yang mengedepankan estetika dan ornamen-ornamen alam, sedangkan
neoklasikal sangat populer di Jerman. Gaya neoklasik lebih mengedepankan
struktur yang kokoh, minimalis atau tanpa memunculkan struktur-struktur lain
yang tidak perlu. Akan tetapi, semua unsur tersebut mengutamakan penggunaan
dinding-dinding besar yang kuat. sedangkan gaya barok telah dikenal di eropa
sejak abad ke-17 yang memunculkan sifat detail, keagungan, dan penekanan pada
unsur-unsur tertentu (http://id.wikipedia.org/wiki/Barok). Pada bangunan
Museum Fatahilah, penggunaan dinding besar, tebal, dan dilengkapi kubah di
atasnya menimbulkan kesan agung serta megah. Dari usur-unsur tersebut dapat
diketahui bahwa bangunan Museum ini bergaya barok klasik (http://www.museumsejarahjakarta.com). Penggunaan tembok besar dan tebal menimbulkan
pemaknaan simbol kekuasaan. Hal ini karena kerajaan sebagai bagian dari
kekuasaan umumnya menggunakan tembok besar dan tebal pada material istananya,
sedangkan kaum marjinal, rakyat jelata di pedesaan biasanya hanya menggunakan
material kayu pada rumahnya. Pada bagian pintu depan berbentuk seperti kubah
atau setengah lingkaran dengan menggunakan dua pintu. Gerbang ini terlihat
seperti gerbang di suatu benteng atau kastil-kastil eropa pada abad pertengahan
yang sering digambarkan dalam cerita dongeng-dongeng klasik eropa. Bentuk
gerbang seperti ini memunculkan makna bahwa gedung ini merupakan bangunan yang
sangat penting dan megah. Hidup dengan cara yang megah, terhormat dan elite merupakan kebanggaan bagi masyarakat
eropa saat itu.
Keberadaan gedung museum Fatahilah di kota tua memunculkan kesan
bahwa negara Eropa khususnya Belanda pernah memiliki kekuasaan di Nusantara. Jakarta
sebagai wilayah yang sangat strategis dalam hal perdagangan internasional
memiliki nilai prestisius di mata negara-negara lain. Belanda sebagai negara
eropa yang cukup lama berkuasa di Nusantara berhasil membangun citra yang kuat
baik di mata bangsa Indonesia maupun di mata internasional melalui
peninggalan-peninggalan bangunan pemerintahannya seperti yang ada di Kota Tua
Jakarta.
Di balik kemegahan bangunan Museum Fatahilah, terdapat berbagai kisah
mencekam yang menyelimuti Museum tersebut, hal ini merupakan mitos yang tumbuh
di masyarakat. Mitos-mitos yang tumbuh ini tidak terlepas dari latar belakang
sejarah yang menyelimuti bangunan Museum Fatahilah. Sebelum menjadi Museum,
Fatahilah atau Museum sejarah Jakarta merupakan gedung Balai Kota milik VOC
atau serikat dagang Belanda. Melihat sisi luar dari bangunan Museum, terdapat
lahan yang cukup luas seperti layaknya sebuah arena atau lapangan. Tempat ini
sekarang menjadi tempat berkumpulnya para komunitas, rekreasi, bersepeda,
berjualan, bahkan konser. Tempat ini terlihat cukup indah dan menyenangkan
untuk berekreasi, berfoto dan menikmati suasana pemandangan bangunan kuno di
tengah modernitas kota Jakarta saat ini. Dalam sudut pandang para ahli sejarah,
budayawan betawi, dan masyarakat sekitar, kisah-kisah bersejarah bangunan ini
ternyata tidak seindah apa yang terlihat. Museum Fatahilah saat masih menjadi
gedung Balai Kota VOC, pernah digunakan sebagai tempat penyiksaan dan hukuman
mati bagi para penjahat dan pemberontak VOC. Batavia saat itu akrab dengan
hukuman pancung selama dua setengah abad. Pelaksanaan hukuman ini menjadi
hiburan dan ditonton orang banyak yang datang berbondong-bondong ke lapangan
Balai Kota. Hukuman mati di tiang gantungan menurut Hans Bonke, sering
dilakukan pada abad 18 di Amsterdam, bahkan hingga lima kali hukuman mati per
tahun. Di Batavia, angka hukuman mati mencapai dua kali lipat lebih banyak
(Shahab, 2010: 150). Berbagai hukuman mati yang banyak dilakukan di lapangan
Balai Kota menjadi kisah lain yang terus menyelimuti bangunan Museum Fatahilah
hingga kini. Di balik keindahan dan kemegahannya, ternyata gedung Museum
Fatahilah tidak terlepas dari kisah mencekam di masa lalu. Sebagian masyarakat
bahkan mempercayai jika Museum ini dihuni oleh hantu-hantu dan arwah penasaran
dari peristiwa masa lampau. Hal inilah yang kemudian membentuk mitos-mitos
seputar Museum Fatahilah di kalangan masyarakat Betawi.
Komentar
Posting Komentar